Penulis: Harman Akbar Tullah

Notifikasi berdenting seperti tetes air yang tak henti, menggoda atensi kita saban menit. Sebuah pesan, video pendek, atau sekadar update dari media sosial semuanya berlomba mengetuk kesadaran, memaksa kita berpindah fokus sebelum sempat benar-benar tenggelam dalam satu hal. Dunia digital telah menjadi ruang tanpa jeda, tempat otak kita bekerja tanpa hening, dan tubuh kita seolah selalu bersiaga. Kita tidak sedang kelelahan fisik, tetapi mengalami letih kognitif yang pelan-pelan menggerogoti kedalaman berpikir.

Di era ketika gawai bisa menggantikan buku, jam, televisi, bahkan sahabat, manusia terjebak dalam pusaran atensi yang terpecah. Multitasking bukan lagi pilihan, melainkan rutinitas yang diam-diam merampas kualitas konsentrasi. Istilah continuous partial attention menggambarkan kondisi ini kita memang hadir, tapi tidak utuh. Layar demi layar membuat pikiran tercerai, dan ironisnya, kita mulai merasa gelisah justru saat tidak memegang gawai. Sebuah laporan dari Alis Behavioral Health yang dipublikasikan pada 7 Oktober 2024 menunjukkan penurunan rentang perhatian manusia dari 12 detik pada tahun 2000 menjadi hanya 8 detik pada 2020. Artinya, secara statistik, kita bahkan kalah fokus dari ikan mas yang mampu bertahan hingga 9 detik. Ini bukan isapan jempol, era digital benar-benar telah memendekkan kesabaran kita dalam menyerap sesuatu secara utuh.

Fokus yang dulu dibangun lewat keheningan kini dikacaukan oleh jeda-jeda palsu, hasil dari notifikasi yang tampak penting, padahal sering kali hampa. Media sosial menjanjikan koneksi tanpa batas, tetapi kerap menyisakan ruang kosong di dalam diri. Di balik layar yang tampak akrab, tersembunyi algoritma yang bekerja tak kenal henti memetakan kecenderungan, bukan untuk membuat kita lebih tahu, tapi agar kita terus menatap. Dalam ruang ini, yang viral adalah yang cepat, bukan yang dalam. Yang ekstrem, bukan yang bijak. Akibatnya, kita terbiasa menggulir cepat, melahap informasi tanpa mencerna, dan menilai realitas dari potongan-potongan citra yang dipoles sedemikian rupa. Perlahan, empati dikalahkan oleh reaksi instan, dan pemahaman digantikan oleh opini yang dibentuk dalam hitungan detik.

Di kalangan generasi muda, muncul istilah yang mencerminkan kegelisahan kolektif “brain rot”. Istilah ini menjadi sorotan setelah Oxford University Press menetapkannya sebagai Oxford Word of the Year 2024 berdasarkan pemungutan suara publik yang melibatkan lebih dari 37.000 orang. Meskipun kini dikaitkan dengan media sosial, istilah brain rot pertama kali muncul dalam Walden (1854) karya Henry David Thoreau. Thoreau menggambarkan pembusukan mental akibat materialisme dan pengejaran kekayaan yang dangkal, jauh sebelum kehadiran internet dan media sosial.

Dalam ruang maya kita kadang terperangkap dalam siklus konten dangkal dan repetitif. Video berdurasi detik, meme tanpa konteks, dan tren yang berganti sebelum sempat dipahami semuanya membentuk pola pikir serba cepat, dangkal, dan mudah teralihkan. Otak seolah kehilangan daya tahan terhadap bacaan panjang atau percakapan bermakna. Bukan karena bodoh, tapi karena terlalu lama diberi asupan instan. Dalam jangka panjang, ini bukan sekadar kebosanan digital, tetapi bisa menjadi kemunduran dalam kemampuan berpikir kritis dan menyusun gagasan secara utuh.

Sudah saatnya kita mengizinkan diri untuk berada dalam ruang sunyi. Bukan karena tak ada yang bisa dilakukan, tetapi karena keheningan kadang justru ruang terbaik bagi ide untuk tumbuh. Membatasi waktu layar bukan berarti menolak kemajuan, melainkan memberi ruang bagi pikiran untuk bernapas. Dunia digital tidak harus ditinggalkan, tapi perlu dijinakkan. Kita bisa mulai dari hal sederhana: membaca satu artikel penuh tanpa tergoda berpindah tab, atau menulis sesuatu tanpa disela notifikasi. Sebab, di tengah kebisingan virtual, justru kesadaran penuh mindful attention yang menjadi bentuk perlawanan di era digital.

Share:

rmx

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *